Kemarin, tanggal 10 Maret 2018 saya berkunjung ke Desa Wisata Ngringinan, Bantul dalam rangka kuliah lapangan bersama teman-teman seangkatan Pariwisata 2016. Sebuah desa yang memiliki ciri khas peninggalan Belanda. Ada gereja Katolik bernama Gereja Katolik Ganjuran, pabrik gula, sekolah, Rumah Sakit Panti Rapih, candi Hindu dan Museum Bantul Masa Belanda. Beberapa peninggalan disana menggambarkan inkulturasi agama Katolik dan Hindu.
Candi Ganjuran
Gereja Katolik Ganjuran
Pukul 07.00, kami berangkat bersama-sama dari Kopma UGM menuju Desa Ngringinan. Membutuhkan waktu sekitar 45 menit. Rute yang kita lewati yaitu ke arah Malioboro, terus menuju Jln. Bantul. Saya dan teman-teman juga melewati Pasar Bantul, dan beberapa kantor pusat pemerintahan kota Bantul. Sekitar pukul 07.45 kami sampai di titik berkumpul yang telah ditentukan oleh Pak Fatkur selaku dosen pembimbing yaitu Museum Bantul Masa Belanda. Setelah beristirahat sejenak sembari menunggu kedatangan teman-teman lain, kami masuk ke dalam. Menurut narasumber yaitu Pak Wudi Kuntoro selaku pengelola dan tour guide, dulunya Museum Bantul Masa Belanda merupakan rumah salah satu warga kemudian dijadikan museum. Ketika siang hari, museum tersebut dijadikan pusat pembuatan oleh-oleh khas Desa Ngringinan, selebihnya museum tersebut dikosongkan.
Pak Wudi banyak menjelaskan sejarah terbentuknya Desa Ngringinan. Menurut beliau, desa ini resmi dibuka pada 22 Februari 2017 dengan daya tariknya yaitu bangunan dan benda-benda peninggalan Belanda. Mayoritas penduduk desa beragama Katolik. Ada 15 homestay yang disewakan untuk wisatawan domestik maupun asing. Desa Ngringinan juga memiliki kesenian khas berupa ketoprak, gejuk lesung yang sering dipentaskan saat ada wisatawan yang menginap.
Sekitar pukul 10.00, kami menuju Gereja Katolik Ganjuran dengan berjalan kaki. Setelah 15 menit berjalan, kami sampai di gereja. Sebagian dari kami mendengarkan penjelasan Pak Wudi, dan sebagian lainnya asyik mengambil foto. Gereja ini merupakan perpaduan budaya Jawa, Katolik dan Hindu. Dapat dilihat dari patung Yesus dan Bunda Maria yang mengenakan pakaian tradisional Jawa. Bentuk fisik dari gereja memiliki kemiripan dengan bangunan joglo dan interiornya berwarna hijau yang menandakan adanya budaya bangunan gaya Yogyakarta disitu. Di sebelah gereja, ada Candi Ganjuran yang dijadikan sebagai tempat ibadah umat Katolik. Dari perjalanan singkat tersebut, saya dapat melihat dan mengetahui prosesi ibadah umat Katolik. Pak Wudi juga menjelaskan adanya mata air yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit di dekat gereja. 1 jam setelah berkeliling, kami kembali ke tempat awal berkumpul.
Sebelum makan siang, kami mendengarkan penjelasan singkat Ibu Andriani yang bekerja sebagai pengelola home production madumongso, cemilan yang terbuat dari tape ketan dicampur gula jawa yang menajdi oleh-olehkhas Desa Ngringinan. Madumongso dari Desa Ngringinan memiliki rasa yang berbeda dibanding madumongso dari daerah lain seperti Madiun. Rasanya lebih manis teksturnya lengket seperti dodol. Kami juga diijinkan untuk berkeliling museum untuk melihat koleksi museum. Hanya ada beberapa foto yang menggambarkan suasana dan kondisi Desa Ngringinan saat masih diduduki oleh Belanda. Menurut Ibu Andriani, masih ada banyak benda yang ingin dipamerkan di museum tersebut, namun keterbatasan ruang menjadi kendalanya. Pukul 13.00, rombongan kami diijinkan untuk pulang.
Dari kuliah lapangan kemarin, ada hal yang saya dapat. Ternyata kebudayaan Katolik, Jawa dan Hindu dapat menghasilkan perpaduan yang indah. Masyarakat di Desa Ngringinan sangat ramah terhadap pengunjung. Meskipun memiliki keyakinan dan kepercayaan yang berbeda, beda, mereka dapat hidup rukun dan saling menjaga lingkungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar